Oleh: Bunyana, ST, Andalas Research Consulting (ARC)
Klaim yang disampaikan Direktur Utama PTPN IV PalmCo, Jatmiko K. Santosa, bahwa kelapa sawit adalah “anugerah” bagi Indonesia, patut untuk ditinjau lebih kritis. Meski sawit memberikan kontribusi pada perekonomian nasional, realitas di Riau menunjukkan cerita yang berbeda. Keberadaan industri sawit, khususnya yang dikelola PTPN, justru lebih banyak membawa dampak negatif dibandingkan manfaat bagi masyarakat lokal.
Sebagai salah satu provinsi dengan lahan sawit terbesar di Indonesia, Riau diharapkan menjadi wilayah yang sejahtera. Namun, keberadaan perusahaan besar seperti PTPN belum memberikan pengaruh signifikan terhadap ekonomi rakyat. Alih-alih menjadi penggerak ekonomi lokal, perusahaan ini kerap menjadi sumber konflik lahan dan ketimpangan sosial.
Masyarakat adat dan petani lokal masih berjuang untuk mendapatkan hak atas tanah mereka yang tergusur oleh ekspansi perkebunan sawit. Konflik agraria yang tak kunjung usai menunjukkan betapa keberadaan perusahaan sawit lebih banyak merugikan masyarakat setempat.
Hutan Rusak dan Konflik Sosial: Warisan Sawit di Riau.Jatmiko menyebut bahwa sawit bukanlah penyebab utama deforestasi. Namun, fakta di lapangan berbeda. Pembukaan lahan untuk perkebunan sawit telah menghancurkan ekosistem hutan di Riau. Hutan yang sebelumnya menjadi habitat flora dan fauna unik kini digantikan oleh monokultur sawit yang miskin keanekaragaman hayati.
Kerusakan lingkungan ini berdampak langsung pada kehidupan masyarakat lokal yang kehilangan akses terhadap sumber daya alam. Konflik antara perusahaan sawit dan warga tempatan terus terjadi, menciptakan ketegangan sosial yang tidak kunjung usai. Situasi ini layaknya "api dalam sekam" yang sewaktu-waktu dapat membesar.
Narasi Ekonomi Sawit: Keuntungan Siapa?
Klaim bahwa sawit memberikan dampak ekonomi luar biasa juga perlu ditelusuri lebih dalam. Keuntungan terbesar dari industri sawit masih dinikmati oleh perusahaan besar, sementara petani kecil hanya mendapatkan remah-remah.
Kemitraan antara petani plasma dan perusahaan sering kali tidak adil. Petani harus tunduk pada aturan perusahaan, mulai dari harga jual hingga kualitas bibit. Akibatnya, banyak petani yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan karena rendahnya harga sawit yang mereka terima dibandingkan dengan biaya produksi.
Jatmiko mengklaim sawit lebih ramah lingkungan dibandingkan hutan primer dalam hal penyerapan karbon dioksida dan pelepasan oksigen. Namun, klaim ini tidak memperhitungkan dampak ekologis dari monokultur sawit yang menghilangkan biodiversitas, merusak kualitas tanah, dan mengganggu siklus hidrologi.
Sertifikasi keberlanjutan seperti ISPO dan RSPO pun tidak cukup menjamin bahwa semua pelaku industri sawit menjalankan praktik yang ramah lingkungan. Masih banyak perusahaan yang mengabaikan prinsip keberlanjutan demi mengejar keuntungan maksimal.
Sawit: Anugerah bagi Siapa?
Bagi masyarakat Riau, sawit lebih sering menjadi beban daripada anugerah. Konflik lahan, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan ekonomi adalah kenyataan yang harus mereka hadapi setiap hari.
Jika sawit ingin disebut sebagai "anugerah," maka pemerintah dan pelaku industri harus melakukan perubahan mendasar. Pengelolaan sawit yang adil dan berkelanjutan, penghormatan terhadap hak masyarakat adat, serta perlindungan lingkungan harus menjadi prioritas utama. Tanpa itu, narasi "sawit adalah anugerah" hanyalah ilusi yang jauh dari realitas di lapangan.
Masyarakat Riau berhak atas industri sawit yang tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi rakyat dan lingkungan sekitarnya. (*)
#PTPN BEBAN NEGARA